MENAKAR AKAR SESAT NALAR BERPOLITIK PRAGMATISME


MuazzinSebuah Telaah Reflektif Aksi Politik Kekerasan)

Oleh: M.Mu’azzin Fauzi*)

 Masih saja pendekatan kekerasan (violence approach) menjadi pilihan pendekatan yang seksi yang diprimadonakanoleh sebagian orang maupun kelompok. Pendekatan ini dianggap sangat mujarab dalammerubah keadaan, baik dalam ikhtiar terkabulnya kepentingan personal-individual maupun untuk kepentingan komunal-kelompok-kelembagaan. Realitas empris praktik kekerasan itu dapat diakses dengan sangat mudahnya via ragam media. Pun sangat ramai diberitakan menghiasi media elektronik dan cetak, baik media nasional maupun lokal akhir-akhir ini. Mulai dari kasus kekerasan domestik dalam konteks rumah tangga sebagai unit terkecil kelompok masyarakat, yang pemicunya sangat ragam, mulai persoalan himpitan ekonomi dimana seorang ibu tega menghabisi nyawa anak kandungnya. Pun persoalan asmara yang melibatkan sepasang kekasih yang tega menghabisi nyawa mantan kekasihnya dengan sadisnya, sampai pada kasus kekerasan yang berbasis politik. Dan masih banyak lagi praktik kekerasan akhir-akhir ini dengan ragam wujud dan dimensinya.

 Kasus kekerasan politik di Aceh akhir-akhir ini yang telah mengakibatkan terenggutnya nyawa, beberapa orang terluka dan rusaknya beberapa aset bangunan partai poltik, adalah satu di antara banyak kasus kekerasan yang menyeruak ke permukaan, menyentak perhatian publik dan ramai dibincangkan di banyak kesempatan dan tempat. Mengapa ini santer dibincangkan, sangat boleh jadi alasannya adalah karena kekerasan yang satu ini merupakan kekerasan berbasis sentimen poltik. Dimana politik yang notabene merupakan instrumen berdemokrasi yang konstruksi konstitusionalitasnya seharusnya (das solen) tetap terjaga dan diletakkan pada posisi marwah politik yang bermartabat. Dan ini wajib dihargai oleh setiap warga negara bangsa besar ini dari Sabang sampai Merauke secara teritorial dan dari masyarakat kelas akar rumput (grass root) sampai kelas menengah-atas (elite level) secara strata sosial.

 Tentu di benak masing-masing kita muncul tanda tanya, mengapa kekerasan politik masih saja terjadi di negeri besar ini terlebih kejadiannya pada momentum strategis (pileg) yang seharusnya terjaga dinamika produktifitasnya ? Bukankah setiap warga negara terlebih kelas elit sudah seharusnya meneladankan pendekatan praktik berpolitik yang jumawa nan adiluhung berbasis etik ? Jika praktik politik pragmatisme dengan pendekatan kekerasan terbuka nan arogan sebagai pilihannya, sampai pada pendekatan transaksional terselubung nan halus, semisal money politic (politik uang) yang tidak bermartabat itu, maka tidak akan pernah mengeluarkan bangsa ini dari kondisi keterpurukan. Apatah lagi mengantarkan bangsa ini ke arah yang lebih baik. Justru yang akan terjadi adalah iklim destruktifunproduktif perlahan namun pasti akan menjerembabkan bangsa ini ke lembah kehancuran yang memilukan dan miris.

 Kita semua berharap praktik politik kekasaran (arogance) dan kekerasan (violence) yang terjadi di negeri Serambi Mekah beberapa waktu lalu tidak akan meluas menjangkiti daerah lain. Cukup sampai di sini pendekatan politik kekerasan itu dipertontonkan, agar cita-cita reformasi yang telah teretas hampir 16 tahun di negeri ini tidak semakin memperpanjang ketertatihannya dalam mewujudkan prestasi gemilangnya melalui momentum strategis ini (pileg). Tentu dengan terwujudnya praktik politik etik yang berkeadaban dalam setiap leveling penyelenggaraannya akan berbanding lurus melahirkan pemimpin negara yang berintegritas dan berkualitas. Karena hanya dengan praktik politik etis, berintegritas dan berkwalitaslah yang mensyaratkan lahirnya produk politik (pemimpin negara) yang berintegritas dan berkualitas pula.

 Sesat Nalar Dalam Berpolitik

Perkembangan dinamika politik Indonesia di setiap rezim pemerintahan memiliki kekhasannya sendiri. Pengalaman empiris praktik politik masa lalu, berkontribusi dominan dalam mengkonstruksi paradigma politik publik saat ini. Misalnya masih eksisnya fenomena praktik politik uang (money politic) atau praktik politik yang memaksa hasrat untuk kepentingan sesaat kelompok maupun golongan (friction politic atau identity politic). Paradigma politik pragmatis ini merupakan inkonsistensi dan disorientasi pemaknaan atas demokrasi itu sendiri, yang dipraktikkan lebih pada tujuan hasrat berkuasa semata. Alih alih memiliki komitmen menjawab terbangunnya kemaslahatan publik.

Sesat nalar atau sesat fikir dalam berpolitik atas dasar logika pembenaran apapun, tidak boleh dibiarkan menggrogoti pancangan penyangga strategis negara ini yang akan berpengaruh sistemik dan massif dalam rangka mengkonstruksi persepsi kesadaran publik tentang kultur berpolitik yang tidak sehat. Jangan sampai konstruksi persepsi politik sesat nalar ini dijustifikasi publik menjadi sebuah keniscayaan dan pembenaran yang pada gilirannya akan menjadi orientasi dan kultur pemahaman politik publik. Menurut Budiyanto, warga negara senantiasa mengidentifikasi diri mereka dengan simbol-simbol dan lembaga kenegaraan berdasarkan orientasi yang mereka miliki (2004:103). Inilah yang harus diantisipasi agar publik tidak mengidentifikasi diri yang disebabkan kontribusi simbol-simbol nalar politik yang tidak sehat itu. Tentu masing-masing kita harus memainkan peranan dalam menjaga penyangga praktik politik berintegritas dan berkualitas. Alat negara haruslah berperan aktif dalam rangka menggaransi terimplemntasinya praktik politik yang bermartabat di negeri ini dengan tujuan luhur agar terengkuhnya cita-cita ideal dalam bernegara dan berbangsa.

Ari Sudjito selaku pengamat politik yang disiarkan live dalam Kabar Petang TV One tanggal 15 Maret 2014 yang lalu berpendapat, praktik politik berbasis kejujuran (integrity)-lah yang akan menghindarkan kita dari eskalasi konflik politik. Maka menurut hemat penulis kekerasan politik yang terjadi di Aceh beberapa waktu lalu sangat boleh jadi terpicu karena tercederainya nilai demokrasi yang seharusnya menjadi “buku saku” etik yang harus difahami dan diacu dalam setiap tahapan proses politik oleh pelaku poltik. Semua pihak harus menahan diri, jangan sampai aksi kekerasan friksi politik pragmatis menjelma menjadi konflik komunal massif bak monster yang sangat menakutkan dan merugikan semua pihak hanya karena alasan hasrat kuasa semata. Publik berhak menikmati praktik politik etik, berintegritas dan berkualitas. Momentum pileg adalah arena publikasi strategis edukasi publik dalam rangka menterjemahkan dan menginternalisasi nilai demokrasi yang adiluhung agar menjadi mainstreaming tata fikir serta tata laku kultur politik publik ke depannya.

 Harus disadari antusiasme (kegairahan) partisipasi publik dalam pemilu belum menunjukkan gairah partisipasi publik yang ekspektatif. Dimana penyelenggaraan pemilu yang seharusnya sebagai arena rasional dan dirindukan kehadirannya, tanpa disadari malahan ruang terbuka publik ini menjadi tumbal distrust publik dikarenakan perilaku arogan elit dengan kuasanya (abuse of power). Moral hazard berbasis politik pragmatis tidak boleh terus dipelihara eksistensinya di negara ini. Terutama pesannya untuk para elit politik dengan semua alat dan perangkat politiknya dari pusat sampai daerah harus segera merevitalisasi pemaknaan kontestasi politik sebagai kontestasi politik yang edukasional, berintegritas dan berkualitas yang berbasis etika.

 Ada dua pendekatan pada hematnya yang akan mendorong terbangunnya praktik politik etik yang berintegritas dan berkualitas serta terhindar dari hegemoni sesat nalar berpolitik pragmatis. Pertama, pendekatan kewenangan negara. Negara harus tegas dan berani mendiskualifikasi kontestan kontestasi politik dan elitnya yang terindikasi menggunakan politik kekerasan (pragmatisme) di semua level. Karena hak publik atas terselenggaranya pemilu yang etik, berintegritas dan berkualitas telah dicederai oleh polah kepongahan elit dengan pendekatan sesat nalar politik pragmatisme jangka pendek. Negara harus menggaransi terjaganya kedaulatan politik publik itu. Negara harus sensitif membela kedaulatan publik karena disinilah letaknya filosofi berbangsa dan bernegara dibangun dengan segenap totalitarianisme pembelaan publik atasnya sebagaimana yang telah dimandatkan dan diamanatkan konstitusi. Kedua, pendekatan internal partai politik. Partai politik secara internal harus berani dan tegas mendiskualifikasi alat politiknya yang terindikasi berkontribusi mempraktikkan politik pragmatisme dengan ragam dimensi wujudnya. Ini juga sebagai ikhtiar membangun citra partai politik kedepannya di hadapan publik agar menjadi partai politik masa depan yang prospektif dan bermarwah berbasis etik yang akan sangat dirindukan oleh publik kehadirannya. Semoga.

 *)Penulis adalah pemerhati masalah sosial Politik dan Penggiat Konsorsium LSM Lombok Tengah, Praya-NTB . E-mail : fmuazzin@yahoo.com, Mobile Phone : 081 915 943 377

Tinggalkan komentar