Program Pengentasan Kemiskinan Bidang Pendidikan: Harapan Vs Kenyataan


Program Pengentasan Kemiskinan Bidang Pendidikan:
Harapan Vs Kenyataan
Oleh: Ichaq

Pada juklak dan juknis setiap program Pengentasan Kemiskinan dalam bidang pendidikan (BOS dan BSM) selalu menekankan pemberian prioritas kepada siswa miskin. Namun pelaksanaan kebijakan pemberian perlakuan khusus kepada siswa miskin sepenuhnya diserahkan kepada sekolah, sehingga membuka peluang pelaksanaan yang bervariasi baik antardaerah maupun antarsekolah di satu daerah. Hal ini terjadi karena pada saat sosialisasi program tidak semua satker kabupaten menekankan pentingnya pemberian prioritas bagi siswa miskin.
Akibatnya, keputusan pemberian perlakuan khusus bagi siswa miskin sangat tergantung keputusan sekolah, khususnya kepala sekolah. Dalam proses penentuan kebijakan untuk siswa miskin, umumnya pengelola sekolah tidak melibatkan komite sekolah maupun orang tua murid. Sebagian besar sekolah memutuskan memberi perlakuan yang sama kepada siswa miskin maupun tidak miskin dalam pembebanan biaya-biaya sekolah yang masih ditarik dari murid.
Tidak dapat dipungkiri bahwa program yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas pendidikan ini telah mendatangkan banyak manfaat, termasuk di Lombok Tengah. Dengan adanya dukungan dana dari pemerintah, sudah banyak sekolah yang melakukan pengurangan atau bahkan pembebasan iuran sekolah dan ada sejumlah kecil sekolah lainnya yang belum mengurangi iuran siswa tetapi memberikan manfaat lain bagi siswa dalam bentuk penyediaan buku pelajaran pokok dan penunjang. Namun demikian, hal ini tidak menutup kemungkinan adanya keluhan yang disampaikan masyarakat terhadap pengelolaan dana program ini di sekolah terutama yang terkait dengan kurangnya kuota jumlah siswa miskin penerima program dan kesalahan sasaran akibat kriteria siswa miskin yang kurang jelas. Hal lain yang terjadi adalah mekanime pengelolaan di sekolah yang masih kurang transparan; minimnya koordinasi dengan pihak masyarakat dan pemerintah desa; dan minimnya aktivitas monitoring dan evaluasi, serta tidak adanya feedback dari kegiatan monev yang dilakukan.
Untuk itu, penyelenggara program semestinya lebih sensitif sejak penentuan konsep dan desain program hingga pelaksanaannya. Penentuan sasaran dapat dilakukan dengan transparan dan tanggung gugat. Diawali pengisian data pekerjaan dan/atau penghasilan orang tua siswa serta penilaian wali kelas, selanjutnya, dilakukan home visit oleh tim yang dibentuk sekolah. Mekanisme inilah yang sejalan dengan tujuan program, sehingga dapat dijadikan model bagi sekolah lain dalam menentukan kebijakan pemberian manfaat tambahan bagi siswa miskin, yang selanjutnya diharapkan dapat meningkatkan akses siswa miskin terhadap pendidikan bermutu. (**)

Tinggalkan komentar